Makam & Masjid Kuno Taman
Masjid Kuno Taman | |
Letak | Jalan Asahan Taman, Madiun,Madiun Indonesia |
Afiliasi agama | Islam |
Deskripsi arsitektur | |
---|---|
Jenis arsitektur | Masjid |
Pembukaan tanah | 1754 |
Spesifikasi |
Sejarah
Masjid ini dibangun oleh Kiai Ageng Misbach atau Kiai Donopuro tahun 1754. Masjid yang semula bernama Masjid Donopuro ini didirikan di tanah perdikan
(daerah bebas pajak) Kerajaan Mataram. Wilayah ini diberikan kepada
Kanjeng Pangeran Rangga Prawirodirjo I yang saat itu menjabat bupati
wedana timur (Manca Negari Timur), Kerajaan Mataram di sebelah timur Gunung Lawu.
Selanjutnya, tanah perdikan itu diserahkan kepada Kanjeng Raden Ngabehi
Kiai Ageng Misbach yang saat itu menjadi penasihat Kanjeng Pengeran
Rangga Prawirodirjo I. Melalui masjid ini, syiar agama Islam di wilayah Karisedenan Madiun terjadi. Setelah masjid kuna yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981, maka namanya pun diganti menjadi Masjid Besar Kuna Madiun.
Arsitektur
Masjid yang bangunan utamanya terbuat dari kayu jati dengan ukuran cukup besar. Bangunan ini beratap tajug
dengan tiga pintu masuk utama. Sampai saat ini masjid kuno tersebut
tidak pernah direnovasi, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah
membeludak. Di komplek masjid ini terdapat makam para mantan bupati Madiun, mulai
dari Kanjeng Pangeran Rangga Prawirodirjo I dan penasihatnya Kiai Ageng
Misbach, hingga sejumlah bupati Madiun penerusnya.
Tradisi
Dahulu di masjid ini dilaksanakan sejumlah tradisi yang menjadi sarana syiar agama. Tradisi tersebut antara lain perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian makanan jenang sengkala, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional seperti tahu dan tempe.
Sayur bening memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet
berarti kebeningan atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental
di hati. Jenang sengkala memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan
dari musibah. Lauk tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat
kebanyakan.
Selain menyajikan aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni gembrung, berupa senandung shalawat
yang diiringi alat musik sejenis jidor dan lesung (alat untuk menumbuk
padi). Namun sekarang seni itu sudah hampir musnah dan tidak pernah
diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan (tumpengan)
saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar